www.indofakta.id – Jakarta, isu terbaru mengenai pendidikan mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan. Dalam pernyataan yang cukup mengejutkan, Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, mengungkapkan dugaan adanya upaya untuk membungkam Prof. Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), terkait pernyataannya mengenai polemik ijazah Jokowi.
Prof. Sofian Effendi sebelumnya menyatakan bahwa ada kemungkinan Presiden Jokowi tidak memiliki ijazah S1 UGM, karena skripsi yang bersangkutan tidak pernah diuji. Hal ini memicu berbagai reaksi dari publik dan pengamat pendidikan di Indonesia.
Said Didu mengungkapkan informasi tersebut melalui akun media sosialnya, menekankan perlunya dukungan dari masyarakat Yogyakarta untuk melindungi Prof. Sofian. Ketidakpuasan terhadap narasi mengenai Jokowi sebagai mahasiswa yang berprestasi menjadi isu hangat yang perlu dicermati.
Permasalahan ini muncul ketika Prof. Sofian menilai bahwa nilai akademik Jokowi saat masuk Fakultas Kehutanan UGM tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan ke jenjang S1. Pernyataan ini merujuk pada informasi yang diperoleh dari rekan-rekan dosennya di fakultas tersebut.
Prof. Sofian juga menjelaskan bahwa Jokowi terdaftar sebagai mahasiswa di UGM pada tahun 1980. Namun, kehadirannya di kampus cukup kontroversial, karena ia dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai siswa potensial di awal-awal perkuliahannya.
“Jokowi masuk UGM setelah menyelesaikan SMP di Solo, dan hal ini menjadi bahan diskusi di kalangan akademis,” ujarnya. Dia mengungkapkan bahwa ada dua mahasiswa yang masuk bersamaan, yaitu Jokowi dan Hari Mulyono, dengan prestasi yang sangat berbeda.
Sejarah Pendidikan Joko Widodo di UGM yang Kontroversial
Pernyataan Prof. Sofian menyiratkan bahwa saat pertama kali menjalani perkuliahan, Jokowi tidak menunjukkan performa akademik yang memuaskan. Harvard Mulyono, kerabat Jokowi, diakui memiliki catatan akademik yang unggul. Hal ini semakin memperkuat pernyataan bahwa ada perbedaan mencolok antara keduanya.
“Hari Mulyono dikenal aktif sebagai mahasiswa, sementara Jokowi kurang terlihat dalam aktivitas akademik,” ungkap Prof. Sofian. Dalam penjelasannya, ia berpendapat bahwa Jokowi tidak lulus dalam beberapa mata kuliah selama dua tahun pertamanya di UGM.
Menurut informasi yang didapat dari para profesor dan mantan dekan, Jokowi tidak mampu memenuhi syarat kelulusan. Alhasil, masa studinya terpendam di jenjang yang lebih rendah, yaitu Sarjana Muda, seiring dengan catatan akademiknya yang lemah.
Jokowi menghadapi banyak tantangan di awal studi, termasuk pelatihan akademik yang minim, yang berimbas terhadap IPK-nya yang tidak mencukupi untuk melanjutkan ke jenjang S1. “Transkrip nilai yang dipublikasikan menghantarkan informasi yang memprihatinkan. Ia tidak menunjukkan upaya meraih standar akademik,” tambahnya.
Transkrip Nilai dan Validitas Ijazah Jokowi Menjadi Sorotan
Menariknya, pandangan Prof. Sofian berfokus pada transkrip nilai Jokowi yang menunjukkan IPK di bawah standar. Proses akademik Jokowi di fakultas tersebut menjadi sorotan, dan hal ini menciptakan ketidakpastian mengenai validitas ijazah yang dimilikinya.
“Berdasarkan transkrip yang ditunjukkan, nilai Jokowi tidak mencukupi syarat untuk kelulusan,” jelasnya. Ia semakin memperkuat bahwa tanpa nilai yang memadai, tidak mungkin bagi Jokowi untuk menyusun skripsi sebagai syarat kelulusan.
Bahkan, ia melanjutkan dengan menyatakan bahwa isu skripsi Jokowi dipenuhi dengan kejanggalan dan dugaan plagiarisme. “Skripsi yang beredar sebenarnya terkesan sebagai mencatut bagian dari pidato seorang dekan, dan tidak pernah diuji secara formal,” ungkap Prof. Sofian lebih lanjut.
Ia juga menjelaskan bahwa saat konfirmasi mengenai dokumen skripsi tersebut, pihak UGM mengonfirmasi bahwa tidak ada ujian untuk skripsi Jokowi. “Semua ini mengundang pertanyaan besar mengenai keabsahan ijazah tersebut,” imbuhnya.
Implikasi Besar dari Pernyataan Edukasi Terkait Ijazah Presiden
Isu ini menciptakan dampak yang lebih luas dalam diskusi tentang integritas pendidikan tinggi di Indonesia. Jika informasi yang disampaikan oleh Prof. Sofian benar, maka dampaknya tidak hanya untuk Jokowi tetapi juga untuk kredibilitas institusi pendidikan di Indonesia.
Deretan tuduhan mengenai pemalsuan ijazah dapat memicu krisis kepercayaan di kalangan masyarakat terhadap lulusan universitas. “Pendidikan merupakan fondasi bangsa, dan setiap dugaan pelanggaran harus ditangani dengan serius,” serunya.
Prof. Sofian bahkan memberikan pernyataan yang lebih tegas mengenai rumor bahwa Jokowi mungkin meminjam ijazah milik Hari Mulyono. Ia menganggap hal itu sebagai tindakan kriminal yang serius, mewakili pelanggaran besar ke arah etika akademik.
“Jika benar, hal ini akan membuka jalan bagi banyak kasus serupa dalam tradisi pemalsuan akademik di Indonesia,” tuturnya. Keberadaan ijazah yang mencurigakan menjadi tamparan bagi reputasi institusi yang seharusnya berpegang pada prinsip transparansi.
Dalam konteks ini, publik diharapkan lebih kritis dan menyediakan dukungan bagi upaya-upaya yang mengedepankan integritas di lingkungan pendidikan. Jika dibiarkan, potensi penyalahgunaan pendidikan akan terus menerus menjadi masalah di sistem pendidikan yang lebih luas.
Prof. Sofian Effendi lahir pada 28 Februari 1945 dan merupakan akademisi terkemuka. Ia pernah menjabat sebagai Rektor UGM dan telah berkontribusi di banyak bidang, termasuk administrasi negara.
Statemen dan analisis yang dikeluarkannya semakin memberikan warna pada lanskap pendidikan di Indonesia. Dukungan terhadap Prof. Sofian dalam konteks perlindungan akademik menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh komunitas pendidikan meskipun dalam situasi sulit ini.