www.indofakta.id – Bupati Pati, Sudewo, memiliki pendekatan yang cukup unik dalam menyikapi protes dari masyarakatnya. Ketika rakyatnya marah, alih-alih merespons dengan kebijakan yang lebih adil, ia malah meningkatkan nada pidato konstitusionalnya tanpa mempertimbangkan dampak kebijakan seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 250 persen. Pendekatan seperti ini menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang dibutuhkan rakyat dan keintiman kepala daerah dengan regulasi yang ada.
Ribuan warga yang turun ke jalan pada Rabu (13/8) menunjukkan betapa mendesaknya mereka merasakan beban ekonomi yang semakin berat. Namun, Sudewo tetap menganggap bahwa ia hanya menjalankan aturan, seolah peraturan itu tak dapat diganggu gugat meskipun dampaknya sangat merugikan. Ini adalah gambaran klasik tentang pemimpin yang kurang peka terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya.
Dalam pandangan Sudewo, kepemimpinannya seharusnya tidak terpengaruh oleh desakan rakyat yang marah, melainkan tetap berpegang pada hukum yang telah ditetapkan. Sikap ini mengabaikan esensi kepemimpinan yang sejati, yang seharusnya dapat merespons kebutuhan dan keresahan masyarakat dengan bijak.
Sangat ironi bahwa bahkan Sekjen DPP Partai Gerindra, yang merupakan partai tempat Sudewo bernaung, berani menyampaikan kritik terhadap kebijakannya. Sugiono, dalam salah satu pernyataannya, mengingatkan bahwa kebijakan yang diambil oleh kepala daerah semestinya tidak menambah beban kepada rakyat. Namun, tampaknya, suara partainya dan teriakan rakyat masih dianggap angin lalu oleh Sudewo.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga merespons cepat dengan meluncurkan hak angket dan membentuk panitia khusus untuk menelaah kebijakan tersebut. Meskipun ada retorika yang menyatakan bahwa “Pati milik bersama” dan “pembangunan harus lancar,” di balik kalimat ini tersimpan kepedihan rakyat yang harus menjual hasil panen dengan harga murah hanya untuk menutupi pajak yang melambung tinggi.
Bupati ternyata merasa bahwa insiden demonstrasi ini layak dianggap sebagai ‘pembelajaran berharga’. Namun, pembelajaran seperti apa yang membutuhkan demonstrasi besar dan teguran dari partai sendiri untuk disadari? Hal ini mencerminkan ketidakpahaman mendalam tentang figur kepemimpinan yang seharusnya mampu membawa sikap responsif terhadap kesulitan masyarakat.
Di sini, editorial ini tidak hanya berupaya mengkritik kebijakan tertentu, melainkan juga menyoroti pola pikir yang mendasarinya. Dalam situasi seperti ini, legalitas sering kali ditempatkan lebih tinggi daripada legitimasi sosial, yang menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya.
Memang, regulasi pajak menyediakan peluang untuk menaikan tarif, tetapi kesempatan itu tidak seharusnya dimanfaatkan dengan angka yang bisa mencekik masyarakat. Kebijakan yang justru menambah beban di tengah krisis ekonomi serupa dengan meminta masyarakat untuk berenang dengan pemberat yang telah ditambahkan pada kaki mereka.
Jika Sudewo memilih untuk berpegang pada aturan yang ada tanpa mempertimbangkan keadilan sosial, maka ia harus siap dengan segala konsekuensi dari keputusan tersebut. Kemewahan kursi bupati mungkin akan terasa sejuk, namun itu bukan karena rasa hormat dari rakyat, melainkan didorong oleh kemarahan yang terus membara di luar sana.
Di saat Sudewo duduk tenang dalam jabatannya, di depan pintunya, rakyatnya berteriak memohon keadilan. Ironisnya, aparat yang seharusnya melindungi masyarakat dipaksa untuk menjadi perisai bagi seorang bupati yang terasing dari realitat yang dihadapi rakyatnya. Ini adalah gambaran betapa mahalnya kursi bupati, bukan dalam hal biaya, melainkan dalam kehilangan kemanusiaan yang harus dibayar oleh rakyat.
Dalam konteks Pati, tidak ada yang lebih berharga selain kemanusiaan dan empati kepada sesama. Mari kita pikirkan bersama, apakah kebijakan yang diambil memang sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang berjuang di tengah kesulitan. Penting bagi seorang pemimpin untuk mendengarkan suara rakyatnya dan bertindak dengan cara yang lebih berpihak kepada mereka.
Tabik!
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto