www.indofakta.id – Praktik mafia tanah masih menjadi isu serius yang mengancam kenyamanan dan keberlangsungan hidup para petani di berbagai daerah. Salah satunya terjadi di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor, di mana para petani menghadapi ketidakadilan dan konflik hukum yang berkepanjangan atas tanah yang mereka garap.
Serikat Tani Hambalang (STH) yang dipimpin oleh Daman dan H. Badrudin terus berjuang melawan ketidakadilan ini. Sejak tahun 1997, mereka telah menggarap lahan negara seluas kurang lebih 170 hektare di Blok Cenglow, tetapi hingga kini nasib mereka dalam kepemilikan lahan tersebut masih terombang-ambing.
Pembatalan HGB dan Dampaknya bagi Petani
Lahan yang saat ini mereka garap adalah bekas Hak Guna Bangunan (HGB) dari PT Buana Estate yang telah resmi dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 15 April 2011. Pembatalan ini terjadi berdasarkan Surat Pembatalan Nomor 1/Pbt/BPN RI/2011 yang menyatakan bahwa tanah tersebut terlantar. Namun, meski status tanah sudah jelas, praktik yang terjadi di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Tahun 2016 menjadi tahun kelam ketika muncul perjanjian pengadaan lahan antara PT Buana Estate dengan PT Primatama Cahaya Sentosa. Perjanjian ini dibuat setelah HGB dibatalkan selama lima tahun, menimbulkan pertanyaan serius tentang validitas dan legalitas kesepakatan tersebut. H. Badrudin menyoroti ketidaklogisan fakta bahwa perjanjian tersebut ditandatangani oleh notaris dari luar wilayah, seolah menantang otoritas hukum yang seharusnya mengatur pertanahan di daerah tersebut.
Strategi Menghadapi Praktik Mafia Tanah
Dalam menghadapi situasi ini, Daman dan H. Badrudin tidak tinggal diam. Mereka aktif mengadvokasi hak-hak petani dan telah membawa permasalahan ini ke ranah hukum dengan melayangkan surat resmi ke Ketua Pengadilan Negeri Cibinong. Dengan langkah ini, mereka berharap dapat memperoleh kejelasan mengenai status hukum lahan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.
Tak hanya itu, mereka juga menerima informasi dari jawaban resmi pengadilan yang menyatakan bahwa PT Buana Estate dan PT Primatama Cahaya Sentosa tidak dapat mengeksekusi lahan tersebut, mengingat dasar hukum yang mereka miliki hanya bersifat deklaratif. Ini merupakan sebuah kemenangan awal bagi para petani, tetapi perjalanan mereka masih panjang dan penuh rintangan. Dukungan dari masyarakat dan partisipasi aktif adalah kunci untuk melawan praktik mafia tanah yang semakin meresahkan.
Dalam konteks yang lebih luas, kejadian di Desa Hambalang mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh petani di berbagai daerah di Indonesia. Penting bagi masyarakat untuk memahami dan menyikapi fenomena ini dengan bijak agar tidak hanya menjadi korban, tetapi berperan aktif dalam melindungi hak-hak mereka atas tanah sebagai sumber kehidupan. Melalui kerja sama dan kesadaran hukum, harapan untuk memperbaiki keadaan dan menghindari praktik mafia tanah mungkin masih bisa terwujud.