Permasalahan dalam sektor perikanan, khususnya terkait ekspor ikan hidup, kian mengemuka. Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kepulauan Riau menyampaikan keluhan serius terkait terhentinya aktivitas ekspor ikan hidup dari Natuna, Anambas, dan Bintan. Masalah ini membutuhkan perhatian yang mendalam dan solusi yang tepat untuk menghindari dampak lebih lanjut bagi para nelayan.
Sejak Maret 2025, para nelayan di kawasan ini mengalami kesulitan karena tidak ada kapal pengangkut dari Hongkong yang datang. Ini berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang serius bagi mereka yang bergantung pada kegiatan budidaya ikan hidup. Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Apakah ada langkah yang diambil untuk menyelesaikannya?
Situasi Ekspor Ikan Hidup di Indonesia
Ekspor ikan hidup merupakan salah satu segmen penting dalam industri perikanan Indonesia. Kepri, dengan kondisi alam yang mendukung, telah lama menjadi pusat budidaya yang menyuplai ikan hidup ke luar negeri, termasuk ke Hongkong dan Tiongkok. Namun, fakta bahwa kapal-kapal dari negara tersebut tidak lagi datang sejak beberapa bulan terakhir tentunya menjadi alarm bagi para nelayan.
Menurut Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Eko Prihananto, terhentinya aktivitas ini menciptakan keresahan yang mendalam. Sebelumnya, penjualan ikan hidup ke kapal-kapal pengangkut adalah rutinitas yang tidak hanya mendukung perekonomian nelayan, tetapi juga menyuplai kebutuhan pasar internasional. Data menunjukkan bahwa selama lebih dari dua dekade, aktivitas ini berjalan lancar tanpa adanya kendala yang berarti.
Penutupan jalur ini tak hanya berdampak pada Kepri saja, tetapi juga menyentuh berbagai daerah budidaya lainnya, seperti Ambon, Bali, dan Wakatobi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini adalah isu yang lebih luas yang memerlukan koordinasi antara pemerintah pusat dan negara mitra.
Imbas Sosial dan Ekonomi Bagi Nelayan
Dampak dari terhentinya ekspor tidak hanya dirasakan dalam aspek ekonomi; ada faktor sosial yang tak kalah penting. Eko menyebutkan bahwa banyak anak nelayan yang tengah menempuh pendidikan di Jawa kini mengalami kesulitan finansial, karena orang tua mereka tidak dapat mengirimkan uang seperti biasanya. Ini menciptakan situasi yang memprihatinkan, di mana pendidikan anak menjadi terancam akibat krisis yang dihadapi orang tua.
Surat permohonan yang dikirimkan oleh HNSI Kepri kepada Kedutaan Besar Tiongkok memang menjadi langkah awal. Tentu saja, harapan yang disampaikan adalah agar pihak pemerintah Tiongkok mau mendengar dan membuka kembali jalan perdagangan yang telah terjalin selama ini. Sebuah harapan yang realistis jika melihat konteks hubungan bilateral yang telah terbangun sebelumnya.
Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Batam, Semuel Sandi Rundupadang, juga menegaskan pentingnya menangani isu ini di tingkat pemerintah pusat. Ini mencakup diplomat yang dapat menjembatani komunikasi antara kedua negara. Upaya bersama diperlukan agar situasi ini bisa kembali ke jalur yang benar.
Dalam konteks yang lebih luas, pengetatan aktivitas perdagangan dari pemerintah Tiongkok sebagai respons terhadap situasi global, seperti perang dagang, menunjukkan bahwa pasar internasional sangat rentan terhadap perubahan kebijakan. Ini mengingatkan kita bahwa para pelaku industri harus selalu siap untuk adaptasi dan mencari solusi alternatif.
Penutupnya, masalah ini menuntut kolaborasi antara para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Pemulihan aktivitas ekspor ikan hidup sangat penting tidak hanya untuk ekonomi lokal, tetapi juga untuk menjaga keberlanjutan industri perikanan Indonesia secara keseluruhan.