www.indofakta.id – Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, menekankan urgensi penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang olahan intermediate dalam sektor mineral strategis. Menurutnya, kebijakan ini sangat penting untuk meningkatkan daya saing industri di tanah air dan menarik lebih banyak investasi asing.
Diungkapkan bahwa PPN pada barang olahan intermediate justru menambah beban biaya produksi dan memperlambat arus kas industri. Proses restitusi yang memakan waktu lebih dari 90 hari dirasa sangat menghambat, terutama bagi industri berorientasi ekspor.
Bambang menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN untuk ekspor adalah 0 persen, industri tetap harus menanggung PPN masukan di dalam negeri. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan produk ekspor Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand.
Pentingnya Reformasi Kebijakan Pajak bagi Sektor Industri
Bambang mengkritisi lambatnya proses refund PPN, yang diterima sebagai penghambat bagi daya saing produk nasional. Sebagai contoh, Vietnam mampu memproses refund dalam 6 hingga 40 hari, sementara Thailand maksimal hanya 15 hari.
Di Indonesia, kata Bambang, suatu proses pengembalian PPN rata-rata memakan waktu lebih dari 90 hari. Hal ini berimplikasi langsung terhadap daya saing Indonesia di pasar ASEAN yang semakin ketat.
Legislator asal Bangka Belitung ini mencatat bahwa kebijakan fiskal saat ini justru menghambat industri dan hilirisasi. Ia berpendapat bahwa PPN sebaiknya hanya dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku yang berada di tengah rantai produksi.
Dampak Negatif Pengenaan PPN pada Rantai Produksi
Bambang menegaskan bahwa dengan mengenakan pajak di awal rantai produksi, beban biaya akan terus menumpuk. Hal ini berpotensi merugikan daya saing industri nasional yang seharusnya diperkuat, bukan dilemahkan.
Perbandingan dengan tarif PPN di negara-negara ASEAN juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tarif yang lebih tinggi, yaitu 11 persen. Sementara, Vietnam dan Thailand memiliki pengaturan yang lebih mendukung sektor industri mereka.
Ia menyebutkan bahwa tarif PPN di Vietnam adalah 10 persen, dengan sektor ekspor dan prioritas dikenakan tarif zero-rated dan proses refund yang jauh lebih cepat. Dalam konteks ini, Indonesia selayaknya mempertimbangkan kembali kebijakan pajaknya untuk mendorong industri yang lebih kompetitif.
Peluang dan Risiko Investasi dalam Industri di Indonesia
Bambang juga mengingatkan bahwa tanpa reformasi fiskal yang tepat, banyak proyek hilirisasi dan investasi strategis yang berpotensi pindah ke negara-negara tetangga. Dalam persaingan global, kebijakan yang tidak memadai jelas akan mengakibatkan Indonesia tertinggal.
Penghapusan PPN untuk intermediate bisa mengurangi biaya produksi hingga 8 hingga 12 persen di sektor mineral strategis seperti ferronikel dan timah ingot. Meskipun kebijakan ini mungkin berdampak pada penerimaan negara hingga Rp110 triliun per tahun, Bambang percaya dampaknya akan terimbangi oleh peningkatan basis pajak dari investasi baru.
Sisi positif lainnya adalah, reformasi fiskal dapat memfasilitasi pertumbuhan PPh badan, dividen BUMN, hingga pajak karbon. Ini menjadi alasan mengapa investasi dalam jangka panjang perlu didorong melalui insentif yang tepat.
Digitalisasi dan Kecepatan dalam Proses Refund PPN
Selain itu, Bambang mendorong digitalisasi penuh dalam proses restitusi PPN dengan Service Level Agreement (SLA) maksimal 30 hari. Upaya digitalisasi ini, menurutnya, sangat penting agar Indonesia bisa bersaing dalam hal efisiensi pengembalian pajak.
Seiring dengan upaya tersebut, kebijakan fiskal perlu adaptif dan responsif terhadap perkembangan industri dan kebutuhan pasar. Hal ini diharapkan bisa mendukung Indonesia dalam perannya sebagai basis manufaktur di kawasan ASEAN.
Dengan kebijakan fiskal yang lebih agile, efisien, dan pro-hilirisasi, Bambang meyakini bahwa Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi. Kesiapan untuk beradaptasi dengan kondisi pasar menjadi salah satu kunci untuk meraih sukses di era persaingan yang semakin ketat ini.