www.indofakta.id – Pulau Semakau Kecil dan Semakau Besar yang terletak di Teluk Tering, Batam Center, rupanya menyimpan banyak cerita di balik keindahannya. Komisaris kelompok pengelola, Zukriansyah, menegaskan bahwa kedua pulau tersebut adalah milik sah mereka dan mengecam tindakan reklamasi yang saat ini berlangsung.
Berdasarkan keterangan dari Zukriansyah, pihaknya merasa sangat terkejut ketika mengetahui bahwa aktivitas reklamasi sedang berlangsung tanpa izin. Ia menegaskan bahwa reklamasi tersebut tidak seharusnya terjadi karena sudah ada perjanjian dan proses pemindahan penduduk yang dilakukan dengan baik sejak tahun 1991.
Keberadaan pulau-pulau ini resmi diakui di bawah pemerintahan Kota Batam, bahkan dihadiri oleh saksi dari pemerintah setempat. Zukriansyah menegaskan bahwa tanggung jawab pemilik sebelumnya telah ditunaikan dengan baik, dan ini menjadi alasan kuat untuk mempertahankan hak atas tanah tersebut.
Pulau Semakau Kecil memiliki luas sekitar 2 hektar dan Pulau Semakau Besar mencapai 15 hektar. Menurut Zukriansyah, legalitas kepemilikan ini harus dihormati oleh semua pihak, termasuk pemerintah. Hal ini penting untuk menjaga kejelasan dan ketertiban hukum di wilayah Batam.
Peta Otorita Batam menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut memang telah memiliki pemilik resmi, yang mana ditandai dengan warna yang berbeda. Ini menjadi bukti bahwa reklamasi yang dilakukan oleh pihak lain harus dihentikan dan tidak bisa dilanjutkan tanpa izin dari pemilik sah.
Sikap tegas juga disampaikan oleh Direktur PT Dani Tasha Lestari, Rury Afriansyah, yang mengingatkan agar pemerintah tidak keliru dalam memahami kepemilikan Pulau Semakau Kecil dan Besar. Ia menekankan bahwa semua proses relokasi dan ganti rugi sudah dilakukan sesuai kesepakatan, dan pihak ketiga tidak seharusnya mengambil keuntungan dari situasi ini.
Kelompok Lestari menjelaskan bahwa mereka telah melakukan pemindahan penduduk dari kedua pulau dengan baik dan berada di bawah pengawasan tokoh masyarakat. Rukmini, salah satu wakil dari masyarakat setempat, bahkan mengonfirmasi bahwa proses relokasi dilakukan dengan transparan dan melibatkan semua pihak.
Penolakan terhadap Kegiatan Reklamasi yang Tidak Berizin
Penetapan kepemilikan oleh Lestari Group muncul setelah viralnya kegiatan reklamasi besar-besaran di Teluk Tering. Beberapa informasi menyebutkan bahwa aktivitas reklamasi telah mencapai belasan hektare dan kuat dugaan bahwa kegiatan ini tidak memiliki izin yang sah.
Pemerintah Kota Batam kemudian merespons dengan menghentikan kegiatan tersebut dan mendirikan papan pemberitahuan bahwa area tersebut berada di bawah pengawasan Badan Pengusahaan Batam. Namun, ini justru menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat terkait status hukum kedua pulau tersebut.
Inspeksi mendadak oleh Wakil Kepala Badan Pengusahaan Batam, Li Claudia Chandra, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini. Namun, beberapa pihak masih merasa langkah itu tidak cukup untuk memberikan kejelasan terkait legalitas proyek reklamasi dan dampak lingkungannya.
Masalah reklamasi di Teluk Tering bukanlah hal baru. Pada masa kepemimpinan Muhammad Rudi sebagai Kepala Badan Pengusahaan Batam, izin reklamasi di kawasan tersebut sempat memicu polemik dan protes dari masyarakat. Terlebih lagi, lokasi yang dekat dengan jalur pelayaran internasional menyebabkan banyak pihak khawatir akan keselamatan dan lingkungan laut.
Dalam sebuah wawancara, Ketua Kelompok Nelayan setempat, Romi, menyatakan bahwa reklamasi sudah berjalan sejak tahun 2021 dan bahkan sempat disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2023. Namun, meski telah ada upaya pencegahan, kegiatan reklamasi tetap dilanjutkan.
Romi menjelaskan bahwa dampak dari reklamasi sangat merugikan para nelayan lokal, yang kini kesulitan dalam menangkap hasil laut. Hal ini membuat air laut menjadi keruh dan mempengaruhi kehidupan terumbu karang. Dengan kondisi tersebut, hasil tangkapan ikan menurun drastis, berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat setempat.
Aksi penimbunan yang dilakukan diduga untuk kepentingan komersial, termasuk pengembangan perumahan mewah. Salah satu perusahaan yang terlibat adalah PT Dirgantara Inti Abadi, yang sebelumnya pernah disegel karena reklamasi tanpa izin. Ini menunjukkan bahwa ada banyak kepentingan ekonomi di balik masalah yang dihadapi saat ini.
Situasi ini mengharuskan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih baik. Mendesak pemerintah dan semua pihak terkait untuk menghormati hak kepemilikan, serta menjaga ekosistem yang ada di sekitar Pulau Semakau. Terlebih, masyarakat lokal berharap agar semua suara mereka didengar dan dihargai dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Dalam menghadapi situasi yang rumit ini, harapan terbesar adalah tercapainya penyelesaian yang adil dan berkelanjutan. Penghargaan terhadap hak legal dan komitmen untuk menjaga lingkungan harus menjadi prioritas dalam setiap rencana pembangunan, sehingga dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.