www.indofakta.id – Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komjen Pol Purn. Oegrosno, telah melontarkan kritik tajam mengenai sejumlah istilah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menegaskan bahwa pengaturan mengenai penyidik dalam draf RKUHAP masih membingungkan dan berpotensi menciptakan konflik kewenangan di antara lembaga-lembaga penegak hukum yang ada.
Dalam sebuah forum diskusi yang bertajuk “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP” pada 2 Agustus, Oegrosno menyoroti istilah “penyidik tertentu” yang dicantumkan dalam RKUHAP. Ia menganggap istilah ini sangat ambigu, baik dari segi subjek maupun jenis kasus yang dimaksud, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.
“Penyelidikan yang terdapat dalam daftar permasalahan RKUHAP mencakup penyidik Polri, penyidik PNS, dan yang terakhir adalah penyidik tertentu. Ini istilah ‘tertentu’ ini sangat mengambang dan tidak jelas,” paparnya. Ketidakjelasan ini dikhawatirkan akan menambah kompleksitas dalam penegakan hukum di Indonesia.
Oegrosno juga mengingatkan bahwa di struktur kejaksaan belum ada unit penyidik yang mengkhususkan diri pada perkara tertentu. “Kejaksaan hanya memiliki Jampidum, Jampidsus, dan Jampidter, namun belum ada yang mencakup penyidikan untuk kasus tertentu,” terangnya, meminta agar pemerintah dan DPR lebih hati-hati dalam penggunaan istilah hukum yang dapat menimbulkan interpretasi bermacam-macam.
Ia menyarankan penyebutan jenis penyidik agar disederhanakan menjadi “penyidik pidana umum” dan “pidana khusus”. Hal ini untuk mengurangi potensi tarik-menarik kewenangan antar instansi, sehingga penegakan hukum bisa berjalan lebih efektif dan efisien.
Lebih lanjut, Oegrosno mempertanyakan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam struktur penyidikan yang diatur dalam RKUHAP. “KPK ini termasuk dalam kategori pidana tertentu atau hanya sebagai penyidik pegawai sipil?” tanyanya, menunjukkan bahwa ketidakjelasan ini berpotensi mengganggu koordinasi antar lembaga penegak hukum.
Ia menegaskan bahwa penting untuk merumuskan kembali pasal-pasal krusial sebelum desain RKUHAP disahkan menjadi undang-undang. “Hal-hal yang tidak jelas seperti ini harus dirumuskan ulang, jika tidak, hal ini dapat menimbulkan kekacauan di lapangan,” ungkapnya dengan tegas.
Pendirian Oegrosno juga tercermin dalam kritiknya terhadap istilah “penyidik pembantu” yang masih digunakan di dalam RKUHAP. Ia menganggap istilah tersebut tidak relevan dalam konteks sistem hukum pidana yang lebih profesional dan terstruktur saat ini. “Penyidik pembantu itu seharusnya dihilangkan karena tidak ada perbedaan yang jelas dengan tugas penyidik utama,” ujarnya.
Dengan mempertanyakan logika operasional penyidik pembantu, Oegrosno menegaskan bahwa seharusnya tidak ada pembagian tugas seperti itu. “Jika penyidik pembantu hanya melakukan pemeriksaan sementara penyidik utama yang menandatangani, ini menunjukkan adanya ketidakjelasan dalam struktur organisasi,” katanya.
Kritik Terhadap Istilah dan Strata Penyidik dalam RKUHAP
Dalam forum yang berlangsung tersebut, Oegrosno menegaskan bahwa istilah yang tidak jelas dapat menciptakan banyak masalah dalam praktik di lapangan. “Ketika istilah tidak diatur dengan baik, akan muncul interpretasi yang beragam di antara para penegak hukum,” ucapnya. Hal ini tentu saja mengancam integritas proses penegakan hukum yang seharusnya berlandaskan pada kepastian hukum.
Oegrosno menyoroti bahwa RKUHAP jika disahkan dalam bentuk seperti ini akan berpotensi menjadi beban bagi penegak hukum. “Masyarakat akan bingung dengan istilah-istilah tersebut, sementara kami di lapangan butuh kejelasan dalam pelaksanaan tugas,” terangnya. Menurutnya, penegakan hukum harus didukung oleh suatu sistem yang jelas dan terukur agar dapat diterapkan secara efektif.
Pentingnya klarifikasi istilah dalam RKUHAP tidak hanya berpengaruh pada penyidik, tetapi juga pada masyarakat umum. “Masyarakat berhak untuk mengetahui proses hukum yang jelas, termasuk siapa yang berwenang melakukan penyidikan,” tambahnya. Ini menunjukkan betapa kompleksnya isu yang dihadapi dalam penyusunan regulasi undang-undang ini.
Oegrosno juga mengingatkan bahwa banyak diskusi tentang RKUHAP harus melibatkan berbagai pihak untuk mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif. “Kolaborasi antar lembaga penegak hukum, akademisi, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menghasilkan produk hukum yang lebih baik,” katanya. Saran ini diharapkan dapat membawa pemahaman yang lebih baik mengenai istilah-istilah yang cukup menyulitkan dalam draf yang ada.
Selain itu, narasumber juga mengharapkan ada konsistensi dalam penggunaan bahasa hukum yang jelas dan tidak ragu-ragu. “Kita butuh satu bahasa yang sama sehingga tidak akan muncul kebingungan di antara penegak hukum,” ujarnya. Sehingga, semua pihak dapat memiliki acuan yang sejalan dalam penegakan hukum.
Pentingnya Revisi dan Penyempurnaan RKUHAP Sebelum Disahkan
Oegrosno menutup diskusi dengan pernyataan bahwa RKUHAP perlu mendapatkan perhatian lebih sebelum disahkan menjadi undang-undang. “Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan agar RKUHAP tidak hanya sekadar menjadi dokumen formal,” tuturnya. Pernyataan ini menekankan perlunya evaluasi mendalam dari semua pasal yang ada dalam RKUHAP.
Ia menegaskan bahwa RKUHAP harus dapat diimplementasikan dengan baik dan tanpa menimbulkan kebingungan di lapangan. “Jangan sampai setelah disahkan, malah menambah masalah baru,” ungkapnya. Ini menunjukkan keseriusan dalam perumusan regulasi yang sangat penting dalam sistem hukum Indonesia.
Sebagai mantan pejabat tinggi di institusi kepolisian, pandangannya memiliki bobot yang cukup signifikan dalam perdebatan mengenai RKUHAP. “Kami membutuhkan produk hukum yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan justru menambah kerumitan,” tambahnya, menekankan bahwa semua pihak harus segera merespons kritik yang ada.
Oegrosno mengajak para pembuat kebijakan untuk berfokus pada substansi yang jelas dan terukur dalam RKUHAP. “Dalam proses hukum, kejelasan akan meminimalkan konflik dan meningkatkan disiplin di lapangan,” ujarnya. Hanya dengan cara ini penegakan hukum bisa berjalan selaras dengan harapan masyarakat yang menginginkan kepastian dan keadilan.