www.indofakta.id – Jakarta, di hari yang menentukan, ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjadi saksi bisu pentas drama politik yang emosional. Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, tidak hanya berdiri di hadapan majelis hakim, tetapi juga menghadapi sorotan media dan tatapan harap dari publik, dengan beban yang lebih berat daripada sekadar dakwaan hukum.
Dengan penuh rasa percaya diri, Hasto membuka pembelaannya dengan nada tegas dan penuh emosi. Ia menyampaikan bahwa proses hukum yang dihadapinya tidak terlepas dari kepentingan politik yang lebih besar yang berusaha menenggelamkan suara-suara penentang.
“Dalam perjalanan ini, kami bukan hanya menghadapi hukum, tetapi juga kekuasaan,” ujar Hasto. Ia menekankan bahwa sang pembelaan ini mencerminkan sebuah perjuangan yang lebih luas untuk keadilan dan kebenaran di bawah naungan hukum.
Hasto kemudian menyoroti pentingnya solidaritas dalam perjuangan politik. Dengan mengacu kepada berbagai tokoh yang pernah mengalami penindasan serupa, ia mengingatkan semua yang hadir bahwa keadilan harus diperjuangkan secara bersama-sama. Ia berkata, “Kami tidak sendirian dalam perjuangan ini.”
Dengan segenap perasaan, Hasto menyinggung kembali peristiwa yang menjadi titik balik dalam karier politiknya. Penolakannya terhadap partisipasi tim nasional Israel dalam Piala Dunia U-21 bukanlah sekadar keputusan, tetapi sebuah pernyataan politik yang mencerminkan integritas dan tekadnya untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah bangsa.
“Saya tidak akan tunduk pada tekanan apapun,” tegasnya, dengan suara yang bergetar. Ia mengingatkan bahwa PDIP berjuang untuk menjaga kebenaran dan keadilan, di tengah arus pragmatisme yang semakin kuat di panggung politik Indonesia.
Momen Emosional dan Panggilan untuk Keadilan
Saat Hasto mengingat sejarah partai dan pengorbanan yang telah dilakukan, tangisan tak tertahan menguasai emosinya. Ia menjelaskan, “Kami telah berperang melawan berbagai bentuk tirani, dan kini kami kembali berdiri untuk melawan ketidakadilan.”
Hasto tidak hanya berdiri untuk dirinya sendiri, tetapi juga mewakili semua suara yang selama ini ditindas. Keterlibatannya menunjukkan bahwa hukum bisa menjadi alat untuk menegakkan kepentingan tertentu jika tidak dihadapi dengan semangat perjuangan yang tulus.
“Tuntutan jaksa akan hukuman 7 tahun penjara bagi saya adalah sebuah bentuk ketidakadilan,” lanjutnya sambil memohon kepada hakim. Ia meminta agar namanya dipulihkan dan martabatnya sebagai seorang pejuang demokrasi dihargai.
Suasana ruang sidang terasa sangat bau emosional, dan tepuk tangan bergemuruh ketika Hasto mengucapkan permohonan tersebut. Para pengunjung sidang tak dapat menahan air mata menyaksikan keberanian dan ketulusan yang dipancarkan oleh Hasto.
Ia juga mengenang kembali peristiwa bersejarah seperti tragedi Kudatuli, yang menunjukkan bahwa perjuangan untuk demokrasi bukanlah hal yang baru. “Kami telah melawan otoritarianisme sejak dulu, dan hari ini kami melakukan hal yang sama,” ujarnya penuh semangat.
Kekuatan Masa Luar dan Dukungan Publik
Di luar gedung pengadilan, situasi tak kalah dramatis. Ribuan pendukung berkumpul dengan semangat juang yang menggebu. Spanduk-spanduk bertuliskan “#HASTO TAHANAN POLITIK” terangkat tinggi di udara, menunjukkan solidaritas masyarakat yang tak ingin melihat keadilan diputarbalikkan.
Suara sorak-sorai pendukung menciptakan energi yang positif, seolah-olah memberikan kekuatan tambahan bagi Hasto. “Kami berada di sini untuk menuntut keadilan!” teriak salah satu relawan, memperkuat tekad untuk melawan ketidakadilan.
Kehadiran tokoh-tokoh politik lain seperti Djarot Saiful Hidayat dan Ganjar Pranowo menunjukkan bahwa Hasto tidak sendirian dalam perjuangannya. Mereka hadir untuk memberikan dukungan dan menjadi saksi akan pentingnya peristiwa tersebut dalam konteks politik nasional.
Suasana di dalam sidang semakin menguatkan keyakinan bahwa ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga sebuah pernyataan tentang keberanian. Penekanan pada pentingnya demokrasi dan keadilan semakin terasa mendalam di setiap kata yang diucapkan.
Dengan berani, kuasa hukum Hasto, Patra M. Zen, berdiri untuk membela kliennya. Dia menegaskan bahwa penuntutan terhadap Hasto hanyalah sebuah upaya untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan lembaga penegak hukum dalam menangkap pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Pleidoi Menyuarakan Kebenaran
Patra mengingatkan bahwa Hasto bukan pelaku kejahatan, tetapi korban dari sistem yang tidak adil. “Alih-alih mencari kambing hitam, mari kita lihat siapa yang sebenarnya bersalah,” serunya, mengecam penuntutan yang dianggapnya mengarahkan arah penyidikan ke jalur yang keliru.
Dalam penutupan pleidoinya, Patra menyentuh banyak hal yang lebih besar dari sekadar kasus ini. “Hasto adalah suara bagi mereka yang telah lama ditindas. Kita tidak boleh membiarkan keadilan diabaikan,” ujarnya tegas.
Hari itu, ruang sidang bukan hanya sekadar tempat untuk mengadili individu, tetapi juga menjadi simbol perlawanan melawan ketidakadilan dan kemandekan demokrasi. Setiap pernyataan Hasto mengingatkan bahwa perjuangan untuk hak asasi manusia dan demokrasi mesti terus dijaga.
Hasto mengisyaratkan bahwa perjuangan ini akan terus berlanjut, tidak peduli dengan segala rintangan yang menghadang. Ia bercita-cita agar setiap langkah ke depan akan membawa kita lebih dekat kepada keadilan yang sejati.
Akankah keputusan majelis hakim mencerminkan keadilan yang diidamkan? Hanya waktu yang akan menentukan, tetapi spirit juang Hasto dan suasana di luar ruang sidang menunjukkan bahwa perlawanan akan terus ada hingga keadilan benar-benar ditegakkan.