www.indofakta.id – Belakangan ini, para pelaku usaha di Indonesia menghadapi tantangan baru terkait pembayaran royalti untuk pemutaran musik. Banyak kafe, restoran, dan hotel yang lebih memilih untuk tidak memutar lagu-lagu dalam negeri karena beban kewajiban royalti yang dianggap terlalu berat.
Hal ini memunculkan kekhawatiran akan dampak negatif terhadap industri musik lokal, yang seharusnya mendapatkan dukungan dari sektor usaha. Kebijakan yang tidak berpihak dapat memicu pergeseran ke musik luar negeri yang lebih murah atau tanpa royalti.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan Kementerian Hukum. Tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang bisa memudahkan pelaku usaha tanpa mengabaikan hak musisi yang seharusnya dihargai.
Perdebatan seputar Royalti Musik di Indonesia
Dalam perdebatan ini, salah satu poin penting adalah apakah biaya royalti seimbang dengan manfaat yang didapat. Banyak pelaku usaha berargumen bahwa membayar royalti untuk setiap pemutaran musik sangat membebani operasional mereka.
Sementara di sisi lain, musisi dan pencipta lagu merasa berhak mendapatkan imbalan dari karya mereka. Jika musik tidak dihargai secara finansial, maka daya tarik untuk menciptakan karya baru akan berkurang.
Dasco juga menyebutkan pentingnya revisi Undang-Undang Hak Cipta yang saat ini sedang dibahas di DPR. Rancangan tersebut diharapkan dapat memberikan kejelasan dalam hal pembayaran royalti dan menjamin keberlangsungan ekonomi kreatif di Indonesia.
Kewajiban Pembayaran Royalti untuk Usaha Komersial
Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, menegaskan bahwa setiap pemilik usaha tetap wajib membayar royalti. Meskipun mereka telah berlangganan layanan streaming seperti YouTube atau Spotify, hal tersebut tidak otomatis memberikan izin untuk memutar musik dalam konteks komersial.
Penggunaan musik di tempat usaha dianggap sebagai penggunaan komersial. Oleh karena itu, diperlukan lisensi tambahan untuk melakukan pemutaran secara legal dan sah.
Agung memperingatkan pelaku usaha untuk tidak mengabaikan musik dari musisi lokal. Jika pelaku usaha lebih memilih untuk tidak memutar lagu-lagu dalam negeri, maka itu akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi musik lokal.
Alternatif untuk Menghindari Biaya Royalti
Salah satu solusi yang diusulkan oleh Agung adalah penggunaan musik bebas lisensi atau Creative Commons. Ini merupakan alternatif yang baik bagi pelaku usaha yang ingin memutar musik tanpa beban biaya royalti yang tinggi.
Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tersedia jalur untuk mengajukan keringanan atau pembebasan royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Langkah ini bisa membantu pelaku usaha kecil agar tetap dapat menikmati musik sambil menjaga keberlangsungan usaha mereka.
DPR juga mendorong munculnya regulasi yang adil. Tujuannya adalah untuk melindungi hak musisi sekaligus memberikan kenyamanan bagi pelaku usaha, sehingga musik lokal bisa tetap berkembang.
Pentingnya Kolaborasi antara Musisi dan Pelaku Usaha
Kedua belah pihak, musisi dan pelaku usaha, perlu mencari jalan tengah yang menguntungkan. Melalui diskusi yang konstruktif, diharapkan akan menemukan solusi yang dapat memuaskan kebutuhan kedua pihak.
Musisi memerlukan imbalan yang adil atas karya mereka, sementara pelaku usaha ingin menjalankan bisnis tanpa tertekan oleh biaya yang tidak proporsional. Penting bagi kedua pihak untuk memahami posisi masing-masing dalam melakukan kerjasama.
Keterlibatan semua pihak dalam membahas regulasi ini akan sangat bermanfaat. Diskusi yang melibatkan musisi, pelaku usaha, dan pemerintah diperlukan untuk menyusun kebijakan yang berkelanjutan dan berimbang.