www.indofakta.id – Cerita nasi goreng kembali menjadi penggugah dialog politik antara Megawati Soekarnoputri dan Presiden Prabowo Subianto. Momen ini bukan hanya sebuah nostalgia kuliner, tetapi juga simbol dari dinamika hubungan politik yang menarik di Indonesia. Awal tahun 2025, tepatnya pada HUT ke-52 PDIP, Megawati menegaskan bahwa hubungannya dengan Prabowo dalam keadaan baik, meredakan spekulasi di kalangan publik.
“Media bertanya-tanya apakah saya dan Pak Prabowo bermusuhan, tidak sama sekali,” tegas Megawati dengan yakin. Dia juga mengenang pertemuan ketika Prabowo berkunjung ke rumahnya di Teuku Umar pada 2019, saat disuguhi nasi goreng yang disukainya.
Dalam pernyataannya, Megawati menuturkan, “Dia senang saya masakin nasi goreng.” Kenangan manis tersebut kembali mengemuka saat Megawati menghadiri Trisakti Tourism Award di Jakarta pada 8 Mei 2025. Megawati mengungkap bahwa Prabowo sering meminta untuk dimasakkan nasi goreng, menunjukkan kedekatan di antara keduanya.
“Presiden sering bertanya, ‘Kapan aku dibikinin nasi goreng, Mbak?’ Tentu saja saya sebagai presiden harus menyenangkan,” tambah Megawati dengan nada bercanda.
Sebulan sebelumnya, pada 7 April 2025, pertemuan pribadi antara Prabowo dan Megawati di Jakarta merebut perhatian publik. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup dan tanpa kehadiran elite partai, berlangsung dalam suasana yang sangat akrab.
Format informal ini menunjukkan kekuatan komunikasi antara elite politik yang sering terjadi di ruang tertutup. Pengamat politik Alfath Bagus Panuntun El Nur menyebut pertemuan ini memiliki potensi besar untuk konsolidasi kepentingan nasional yang lebih efektif.
Nasi Goreng sebagai Jembatan Diplomasi Politik
Melalui nasi goreng, Megawati menyampaikan pesan politik yang bersahabat, seolah-olah mengisyaratkan bahwa hubungan politik juga memiliki rasa, harga, dan waktu penyajian yang tepat. “Siapa mau nasi goreng Ibu Mega? Tapi harus bayar,” ujarnya dengan akrab, menunjukkan bahwa hubungan ini saling menguntungkan.
Keakraban antara Megawati dan Prabowo tercermin kembali saat mereka bertemu dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025. Di sana, Prabowo terlihat menggandeng tangan Megawati, menunjukkan hubungan yang erat antara keduanya, bahkan menghadiahkannya prioritas di depan Gibran Rakabuming, wakil presiden terpilih.
Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menegaskan bahwa pertemuan tersebut berlangsung dalam suasana yang ramah. Sementara PDIP menggarisbawahi bulan Juni sebagai momen penuh makna, mengingat bulan itu bertepatan dengan kelahiran Bung Karno dan Pancasila.
Hadirnya keakraban di depan publik ini menjadi sinyal kuat bahwa tidak ada ketegangan pribadi antara Megawati dan Prabowo. Justru, ini menunjukkan semangat rekonsiliasi dan pengakuan akan pentingnya kerja sama dalam dinamika politik nasional yang semakin kompleks.
Semarak Bulan Juli dengan Dukungan Partai
Setelah Juni yang penuh kehangatan, bulan Juli menyuguhkan kejutan. Megawati Soekarnoputri secara resmi menginstruksikan seluruh kader partai untuk mendukung pemerintah Prabowo Subianto. Instruksi ini diumumkan pada 31 Juli 2025 oleh Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, di Nusa Dua, Bali.
“Ibu Megawati menegaskan bahwa kita mendukung semua inisiatif pemerintah yang positif demi menjaga negara dan bangsa,” ujarnya. Deddy juga menekankan pentingnya soliditas partai sebagai fondasi utama dalam mendukung pemerintah.
“Ketua Mega mengingatkan agar soliditas internal partai menjadi kunci untuk berperan maksimal,” tambahnya. Keputusan ini menandai langkah berani PDIP untuk mengambil posisi mendukung pemerintah yang baru, sebuah sinyal yang menunjukkan kematangan politik.
Usulan Amnesti dan Abolisi dalam Koalisi
Paralel dengan perkembangan dukungan partai, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mengajukan proposal amnesti untuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, kepada Presiden Prabowo. Usulan ini dinyatakan dalam konteks menjaga persatuan menjelang HUT RI ke-80.
“Tujuan utama dari amnesti ini adalah untuk menjaga kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan di masyarakat,” ungkapnya. Penawaran ini mendapatkan sambutan positif dari DPR RI, yang setuju terhadap dua surat presiden terkait amnesti dan abolisi tersebut.
Pemberian amnesti ini mengakhiri proses hukum terhadap Hasto, yang sebelumnya terjerat kasus suap. Setelah persetujuan DPR, langkah selanjutnya adalah penerbitan Keputusan Presiden untuk melaksanakan amnesti ini, yang menjadi momen penting dalam politik.
Simbolisme Pertemuan Para Pemimpin Politik
Pada hari yang sama, momen penting juga dicatat ketika Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, bertemu dengan Megawati di kediaman Mega. Pertemuan ini dinyatakan sebagai upaya untuk “merajut tali kebangsaan dan persaudaraan,” menunjukkan tanda-tanda positif dalam kolaborasi antara dua partai besar ini.
Tampak hadir dalam pertemuan ini juga Ketua DPR Puan Maharani, serta politikus lainnya, menciptakan suasana yang hangat dan bersahabat. Pengumuman resmi dari Presiden Prabowo tentang pemberian amnesti dan abolisi menandai pencapaian penting dalam hubungan antara PDIP dan Gerindra.
Simbolisme pertemuan ini memberikan harapan baru untuk kembali membuka jalur komunikasi politik yang lebih cair antara kedua partai. Ini juga menguatkan spekulasi mengenai makna mendalam dari “rekonsiliasi nasi goreng,” yang telah menjadi titik awal dalam hubungan mereka yang lebih harmonis.